Aku benar-benar tak tau bagaimana harus mengawali
kisahku ini, semua terjadi begitu saja. Kadang aku juga heran, kenapa kisah
yang rumit ini terjadi di kehidupanku. Tapi takkan lengkap jika aku tak
memberitahu seberapa rumit kisah cintaku dengan orang ini. Orang yang aku
panggil dengan sebutan “Oppa”.
~***~
Pulang
sekolah... seperti biasa aku tak langsung pulang ke rumah. Aku malas kalau di
rumah, tak ada teman, yang ada hanya aku, ibuku, dan ayahku. Ibu dan ayahku
bekerja dan pulang sore sekitar jam 3. Sementara aku pulang jam setengah 2
siang. Aku anak tunggal, tak punya adik ataupun kakak. Daripada aku
menghabiskan waktuku untuk berdiam diri di rumah, aku memutuskan untuk pergi ke
tempat favoritku –Warnet ‘Apaya’ –bermain game
online. Yah, wajarlah. Hobiku bermain game
online. Jarang ada cewek yang
bermain game online, jadi hanya aku
satu-satunya cewek yang bermain di warnet itu.
Karena
banyak cowok yang berada di warnet itu, beberapa dari mereka pernah menjadi
pacarku dan akupun mengalami first love
–cinta pertamaku –di warnet ini. Jujur saja, aku masih suka dengan first loveku itu. Kami putus hanya
karena kami jarang berkomunikasi lagi. Yah, masalalu (jangan di bahas lagi deh,
gelap tau).
“Duh,
sial. Warnetnya penuh.” Kata-kata yang keluar pertama kali saat masuk dan
melihat beberapa kursi –dengan komputer yang menyala –telah dihuni orang lain.
Suka
nggak suka, aku harus tetap menunggu. Ada beberapa komputer yang tak bisa
menyala, otomatis kursinya kosong. Aku duduk diam di komputer nomer 12, salah
satu komputer yang tak bisa menyala. Perhatianku tertuju di komputer 13.
Seseorang bermain game kesukaanku dengan mode guitar master[1]
yang belum bisa aku kuasai. Aku takjub melihat kemampuan tangannya yang cepat.
Aku memperhatikan orang yang bermain game
tersebut.
Aku
terkejut pakaiannya. Dia mengenakan seragam sama persis dengan seragam
sekolahku. Tapi, aku tak pernah melihatnya di sekolahku. Yang membuatku
terkejut lagi adalah sepatu yang dikenakannya, sama persis dengan sepatu yang ku
kenakan.
“Uwa,
mas. Sepatumu sama persis sama punyaku.” Ucapku spontan yang membuatnya
memperhatikanku. Dia balik melihat sepatuku.
“Eh,
iya. Sepatunya sama. Hehe...” ucapnya. Dia kembali memperhatikan layar monitor
didepannya.
Aku
terdiam sesaat karena tadi benar-benar awkward.
“Aku
baru tau kalau ada anak SMA-ku juga bermain disini.” Gumamku.
“Hahaha...
kamu gak pernah liat aku disini toh ?” Tanyanya tiba-tiba. Mungkin karena
mendengar gumamanku.
“Eh,
i-iya.” Jawabku gemetar.
“Oh,
yaudah. Kamu mau main, kan ? Aku udahan nih. Kamu pakai aja komputernya.”
Ucapnya sembari berdiri dari singgasana nomer 13.
“Makasih
mas. Eh iya, aku mau tanya. Kamu kelas berapa ? jurusan apa ?” tanyaku spontan.
“Oh...
aku kelas Sebelas IPS. Aku duluan ya dek.”
“Ok
mas, makasih ya...”
Hm...
anak IPS, pantas saja aku nggak pernah melihatnya di sekolah. Kelasku di gedung
kecil di ujung sekolah. Kelas IPS di sekitar gedung B di sekolah. Aduh, aku
lupa tanya nama dan kelas IPS berapa... hufh.
~***~
Esoknya,
saat istirahat pertama di sekolah...
Aku
berniat untuk mencari cowok itu. Tapi tak mungkin aku berkeliling kelas IPS
tanpa teman. Aku mengajak Noorma –teman dekatku –untuk mencari dimana kelasnya.
Aku masih mengingat wajahnya.
Tujuan
pertamaku tentu saja kelas IPS 1 yang tempatnya di lantai 1. Aku melihat
sekilas kelas tersebut, tapi cowok itu tak terlihat di kelas ini. Aku dan
Noorma melanjutkan pencarian ke kelas IPS 2 yang ada di lantai 2 gedung B.
Tetapi, hasilnya tetap nihil. Pilihan terakhir adalah kelas IPS 3 yang tak jauh
dari IPS 2. Cowok itupun juga tak ada di kelas IPS 3. Karena bel masuk
berbunyi, pencarianku berhenti sampai disini. Hufh... aku berharap batang
hidungnya terlihat di warnet ‘Apaya’ seusai sekolah hari ini.
Pulang
sekolah...
Aku
keluar kelas awal untuk menunggu di lobby sekolah. Aku duduk di depan TV yang
ada di lobby. Satu per satu orang-orang berhamburan keluar sekolah. Aku tetap
saja tak melihat cowok itu. Berarti satu-satunya harapanku untuk bertemu
dengannya adalah di ‘Apaya’.
~***~
Aku
pergi ke ‘Apaya’. Bukan hanya untuk bertemu dengan cowok itu, tapi juga untuk
bermain game online. Hehehe... sudah
hobiku sejak dulu, sih. Untung ‘Apaya’ hari ini tak terlalu ramai seperti hari
kemarin. Aku langsung duduk di komputer langgananku, nomer 10. Aku melihat
sekeliling ruangan sambil menunggu proses booting
selesai. Betapa terkejutnya aku melihat penghuni komputer nomer 13. Ya, cowok
itu berada di komputer itu. Aku mencoba menyapa cowok itu.
“Eh,
Mas yang sepatunya kembaran sama aku.” Sapaku dari singgasanaku.
“Wah,
adeknya.”
“Mas,
aku ajarin main ‘Guitar Mode’ dong.”
Pintaku.
“Ok
deh dek. Main di server C room XX, Aku tunggu dek.” Itu artinya dia mau
mengajariku. Yippie... lho kok aku jadi seneng ?
Saat
bermain, aku kalah terus dengannya. Maklum, mode yang kami mainkan benar-benar
mode yang paling tak ku kuasai.
“Haha...
kalah mulu. Gimana kalau modenya ganti ‘Beat
Up[2]’
aja ? aku pingin tau, sejago apa kamu main mode itu.” Ejeknya.
Aku
tersenyum licik. ‘Beat Up’ adalah
mode yang paling aku kuasai. Aku menerima tantangannya dengan senang hati.
Tentu saja keadaan berbalik menjadi aku yang selalu menang.
“Ternyata
emang susah ngalahin ‘Ratu Beat Up’.”
Kata-katanya membuatku kaget.
“Lho,
mas. Kamu tau toh kalo aku jago ‘Beat Up’
?” tanyaku spontan.
“Iya
lah, aku kan sering main disini. Dulu banget waktu kamu masih SMP, aku lihat
kamu sama Adi main bareng, eh... lama-lama kok malah ciuman.” Katanya dibarengi
tertawa.
Wajahku
memerah karena kata-katanya.
“Jadi,
dari dulu kamu udah main disini toh mas ? kok aku nggak tau ya. Oh iya, tadi
aku cari di sekolah kok kamu nggak ada ?” tanyaku absurd.
“Aku
telat dek, aku udah dari tadi disini.” Jawabnya.
“Owalah.
Kamu kelas IPS berapa sih mas ?”
“Aku
IPS 1 dek.”
“Kalo
pulang bareng dong mas. Sekalian kan jadi ada temennya.”
“Haha,
ok ok...”
Mungkin
seperti itulah awalnya kita bisa kenal. Dari sebuah sepatu sampai ke
pertemanan. Hehehe... sebenarnya sih aku jatuh hati sama dia. Tapi, aku masih
belum pasti tentang hatiku yang sebenarnya.